Minggu, 31 Agustus 2008

MENERANGKAN WAJIB PUASA

Adapun wajibnya puasa ada enam yaitu :

1. Mengintip / mencari informasi tentang awal bulan Ramadhan, dan ini dilakukan dengan رئية الهلال . Apabila langit berawan, maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari. Dan rukyat dapat diterima dari persaksian satu orang yang jujur. Adapun bulan syawal tidak dapat ditetapkan melainkan dengan persaksian dua orang yang jujur sebegai penetapan untuk melaksanakan shalat Id.

Oleh karena itu barang siapa yang mendengar dari seorang yang jujur dan ia membenarkan perkataannya dan berat persangkaannya akan kebenaran apa yang diucapkannya, maka ia wajib melaksanakan puasa meskipun hakim agama belum memutuskan, dan hendaklah orang lain mengikuti melaksanakan ibadah puasa sesuai dengan persangkaannya (bahwa penyaksian hilal itu benar).

Apabila Hilal Ramadhan terlihat pada suatu negeri akan tetapi tidak terlihat di negeri yang lain sementara jarak dari kedua negeri itu kurang dari dua Marhalah maka mereka semua wajib melaksanakan puasa. Akan tetapi apabila lebih, maka tiap-tiap negeri menurut kondisi masing-masing.

2. Niyat. Dan tidak boleh tidak pada tiap-tiap malam mengucapkan niat, yang مبيتة (bermalam) dan مغينة (terperinci) –yaitu niyat melaksanakan puasa esok hari untuk melaksanakan fardhu bulan ramadhan pada tahun ini- serta جزيمة (pasti). Apabila berniyat melaksanakan puasa satu bulan sekaligus, maka niyat demikian tidak mencukupi. Itulah yang dimaksudkan tiap-tiap malam melakukan niat. Apabila niat dilakukan pada siang hari maka tidak diperkenankan untuk puasa fardhu dan puasa ramadhan karena niat yang dilakukan tidak bermalam / مبيتة . akan tetapi apabila puasa sunah maka itu diperkenankan. Apabila berniat puasa saja atau fardhu saja maka tidak diperkenankan hingga kita berniat untuk melakukan niat melakukan fardhu puasa bulan Ramadhan. –oleh karena itu hendaklah kita berniat seperti yang dibaca setelah shalat tarawih :

نويت صوم غد عن أداء فرض شهر رمضن هدْه السنة فرضالله تعالى

Aku berniat mengerjakan puasa esok pagi untuk melaksanakan fardhunya bulan Ramadhan pada tahun ini Karena الله Ta’ala.

Apabila berniat pada malam yang meragukan (الليلة الشك) yaitu niat melakukan puasa besok pagi apabila besok pagi bulan Ramadhan maka itu tidak boleh karena niat seperti ini tidak جزيمة (pasti), kecuali apabila niyatnya disandarkan pada informasi dari kesaksian orang yang jujur dan menjamin kejujuran persaksiannya, atau disandarkan kepada kesaksiah sahabat, seperti keraguan pada malam akhir bulan Ramadhan maka hal tersebut tidaklah menghalangi kejaziman niat. Atau apabila disandarkan pada ijtihad . apabila kuat persangkaannya atas masuknya bulan Ramadhan dengan ijtihadnya, maka keraguannya tidak menghalangi dari niyat.

Dan manakala keraguan terjadi pada الليلة الشك maka niat yang jazimah secara lisan tidaklah berguna lagi karena tempat niat adalah hati dan tidak tergambar di dalamnya antara ketetapan niat bersama dengan keraguan seperti kalau kita berkata pada pertengahan bulan ramadhan “aku akan berpuasa besok pagi apabila besok bulan Ramadhan”. Dan yang demikian ini tidaklah membahayakannya karena sesungguhnya itu adalah lafadz yang mengandung kebimbangan, sedangkan tempatnya niat (hati) tidaklah mengalami kebimbangan karena ia tahu bahwa saat itu adalah bulan ramadhan.

Barang siapa yang niat berpuasa pada malam hari kemudian ia makan, maka dengan makan itu tidaklah merusakkan niat. Apabila seorang wanita yang sedang haid berniat puasa pada malam hari, kemudian ia suci dari haid sebelum fajar maka sah puasanya.

3. Menahan diri dari masuknya sesuatu ke dalam perut secara sengaja dalam keadaan sadar sedang melaksanakan puasa. Maka akan menjadi rusak puasa oleh sebab makan dan minum dan menghisap (seperti menghisap rokok). Akan tetapi tidak merusak puasa disebabkan oleh bekam dan memakai celak mata dan masuknya cairan ke dalam telinga. Demikian pula apa yang masuk ke dalam perut secara tidak sengaja maka tidak membatalkan puasa seperti masuknya debu dari jalanan, atau lalat yang tiba-tiba masuk ke dalam perut. Demikian pula apa yang tiba-tiba masuk ke dalam perut ketika berkumur maka tidak membatalkan puasa kecuali apabila berkumur dengan bersangatan maka akan membatalkan puasa. Dan semua itu yang dimaksudkan dengan istilah sengaja. Dan tidak seharusnya dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa apabila ia makan di siang hari kecuali dalam keadaan terpaksa/darurat.

4. menahan diri dari jima’ (hubungan badan). Apabila dilakukan dalam keadaan lupa, tidaklah membatalkan puasa. Apabila berhubungan badan pada malam hari atau bermimpi keluar air mani sehingga ia dalam keadaan junub maka tidak membatalkan puasa. Apabila muncul fajar sedang ia dalam keadaan berhubungan badan kemudian segera ia melepaskannya seketika, maka sah puasanya. Akan tetapi apabila ia meneruskan, maka rusaklah puasanya dan wajib baginya membayar kafarat.

5. menahan diri dari الاستمناع (mengeluarkan air mani dengan sengaja, baik dengan cara berhubungan badan atau tidak. Dan tidaklah batal puasa dengan sebab mencium isteri atau tidur bersama isteri selama tidak mengeluarkan air mani, akan tetapi makruh hukumnya kecuali dilakukan oleh orang yang sudah uzur / tua. Akan tetapi meninggalkan perbuatan tersebut lebih utama. Apabila seseorang takut apabila ia berciuman akan keluar air mani kemudian ia mencium isterinya hingga keluarlah air mani, maka batal puasanya disebabkan oleh kecerobohannya.

6. menahan diri untuk tidak muntah, karena muntah dapat membatalkan puasa. Apabila kuat dorongan muntah sehingga ia tidak kuat menahannya maka tidaklah membatalkan puasa. Apabila ia menelan air liur/dahak yang berada di kerongkongan atau di dalam dada maka tidak membatalkan puasa. Akan tetapi apabila dahak itu telah sampai ke mulut kemudian ia menelannya maka itu membatalkan puasa.

Why Do Muslims Fast during Ramadan?

"...whoever witnesses the Month of Ramadan should fast through it..." Q(2:185)

Abstract

As muslims prepare for the age-old annual compulsory one-month fast, this article looks closely at some of the reasons why muslims do Ramadan fast. It also traces the history of fasting in Islam.

History of Ramadan Fast

What turns out now to be a compulsory annual event (i.e fasting during the month of Ramadan by all able-bodied muslims) started in the early years of Prophet Muhammad (s.a.w) in Medina, precisely in the second year of Hijra. Prior to his flight to Medina (known as Hijra), the Prophet(s.a.w) was in the habit of fasting three times per month (this gives 36 days in a year) when he was in Mecca and to a great extent when he settled in Medina. Not long, the Prophet(s.a.w) soon discovered that the Jews in Medina used to set aside one special day for fasting. By Islamic lunar calendar, the day used to be 10th of Muharram, often called yawmu :ashura. The Prophet(s.a.w) then asked the Jews about the significance of the day. He was told that it is the day Allah helped Prophet Musa(a.s) to humiliate, defeat and drown the tyrant, Fir'aon. By all standard, since Musa(a.s) was a prophet of Allah and of course a muslim, the Prophet(s.a.w) felt that Musa(a.s) was nearer to him as a Prophet (as well as to the muslims) than to the Jews. To this end, he ordered his companions to fast along with him that day.

Narrated Ibn 'Abbas(r.a): When Allah's Apostle(s.a.w) arrived at Medina, he found the Jews fasting on the day of 'Ashura. The Prophet(s.a.w) asked (about it) and they replied: "This is the day when Moses(a.s) became victorious over Fir'aon". The Prophet(s.a.w) said (to the muslims), "We are nearer to Moses than they, so fast on this day" (Sahih Al-Bukhari, vol.6, p.233)

The Prophet(s.a.w) also sent a companion to go round Medina to announce to all the muslims that whoever has eaten should fast for the remaining hours of the day and whoever has not eaten should fast for the day (see Sahih Al-Bukhari, vol. 3, hadeeth 181, p. 103). It is evident that 'Ashura fast was the first communal fast made obligatory for the muslims by the Prophet(s.a.w) whereas his own habit of 3-day-fast-per-month remained optional.

The All-knowing Allah formally revealed two verses regarding fasting in the second year of Hijra: the verses spelt out the reasons for fasting; when to do so; who should be exempted? etc. Let's see the verses:

"O ye who believe, fasting is prescribed for you as it was prescribed for people before you so that you will (learn how to attain) piety" (Q2:183)

"(fasting is) for a fixed number of days: but if any one of you is sick, or on a journey, the prescribed number (should be made up) from (other) days later. For those who can do it (with hardship) is a ransom, the feeding of one that is indigent. But whoever can give more (than this) of his own free will--(then) it is better for him, and it is better for you that ye fast, if ye but knew." Q(2:184) When these two verses were revealed, 'Aisha(r.a) reported that the Prophet(s.a.w) then said to the muslims: "Ramadan fast is a divine obligation but whoever likes to fast 'Ashura day (as well) may do so voluntarily or leave it". Undoubtedly, Ramadan fast is a blessing to the muslims in the sense that from one-day 'Ashura fast, Allah gave them a whole month of Ramadan instead. Ramadan may be 29 or 30 days depending on when the moon was sighted.

A cursory look at the qur'anic verses above reveals that the All-wise intend ease for the muslims and not difficulty: for instance, ransom was allowed for those who choose not to fast due to hardship or difficulty. This freedom or leniency was shortlived when the All-wise and the All-knowing Allah tightened His injunction with another revelation that nullified giving ransom, by able-bodied muslims, in exchange for missed Ramadan fast thus:

"Ramadan is the (month) in which Qur'an was sent down, as a guide to mankind, and a clear guidance and judgement (so that mankind will distinguish right from wrong). Whoever among you witnesses the month of Ramadan should fast through it. But whoever is sick or on a journey, the prescribed period (missed should be made up) by days later. Allah wants ease for you and He does not want to put you into difficulties. (He wants you) to complete the prescribed period and to glorify Him in that He has guided you; and perchance ye shall be grateful" Q(2:185).

This verse shows that Allah wants every able-bodied muslim to "complete the prescribed period" (30 or 29 days depending on when the moon was sighted). It infact re-emphasises the importance of Ramadan fast which Allah made clear in the last part of Q(2:184) where He said: "...it is better for you that ye fast if ye but knew". Unambiguously, feeding of the poor person as a ransom for not fasting (by those who can fast) is not allowed by Q(2:185). This is the genesis of Ramadan fast in Islam.

Remarkably, it is clear that 'Ashura fast was replaced by Ramadan fast, but the habit of fasting 3-day-per-month which the Prophet(s.a.w) used to do was a blessing in someway because his 36 days a year fasting can be interpreted thus: Allah approved 30 days as FARD (i.e obligatory) for the month of Ramadan, and the Prophet(s.a.w) recommended six days fasting in the month of Shawwal for all muslims (though this is voluntary). If these two fastings are adopted, one would have done 36 days (which is the same as fasting round the year).

Tidak ada komentar: