Minggu, 31 Agustus 2008

MENERANGKAN RAHASIA KEUTAMAAN PUASA DAN BEBERAPA SYARAT BATINIYAHNYA

Ketahuilah bahwa puasa itu ada tiga tingkatan, puasa awam, puasa khawas, puasa khawas al- khawas. Puasa awam adalah menahan perut dan kemaluan untuk melampiaskan syahwat sebagaimana telah diterangkan pada bab terdahulu. Puasa Khawas adalah menahan pendengaran, penglihatan dan lisan dan tangan dan kaki dan semua anggota badan dari perbuatan dosa. Adapun puasa khawas al-khawas adalah puasa hati dari hasrat duniawi dan berfikir tentang hal-hal duniawi dan menahan diri dari segala sesuatu selain الله Azza wa Jalla secara keseluruhan. Maka pada tingkatan ini puasa seseorang menjadi batal dengan sebab memikirkan sesuatu selain الله SWT dan hari akhir. Tidak memikirkan duniawi melainkan apa yang dikehendaki untuk kepentingan agama, karena yang demikian termasuk bekal untuk akhirat maka itu bukan termasuk hal duniawi. Ahli hikmah berkata barang siapa yang melakukan perniagaan pada siang hari dengan maksud untuk mendapatkan sesuatu yang akan dipergunakan untuk berbuka pada malam hari, maka itu ditulis sebagai pelanggaran karena hal demikian menunjukkan sedikitnya ketergantungan dengan anugerah الله dan sedikitnya yakin dengan rizki الله yang dijanjikan. Dan ini adalah derajat para nabi, para shiddiqiin, para muqarrabiin dan tidaklah perlu diperpanjang lagi penjelasannya dengan menggunakan kata-kata akan tetapi secara hakikat ia adalah amalan dengan menghadapkan diri secara keseluruhan kepada الله SWT dan berpaling dari selain-Nya. Dan seperti inilah maksud dari firman الله SWT

قل الله ثم دْرهم فى خوضهم يلعبون

Adapun puasa Khawas maka itu adalah puasanya orang-orang shaleh yaitu menahan anggota badan dari perbuatan dosa. Ini dapat sempurna dengan enam perkara yaitu :

1. mengurangi pandangan mata (menghindari pandangan yang haram) dan menahannya dari memperbanyak pandangan terhadap segala yang tercela dan makruh dan dari segala sesuatu yang dapat menyibukkan hati dan memalingkan perhatian dari berzikir kepada الله SWT. رسول الله SAW bersabda,

النظر سهم مسموم من سهام ابليس لعنه الله فمن تركها خوفا من الله آتاه الله عز وجل

ايمانا يجد حلاوته فى قلبه

Memandang (yang haram) adalah panah beracun dari panah-panah iblis la’natuLlah alaih. Barang siapa yang dapat meninggalkannya maka الله akan memberi iman yang dapat dirasakan manisnya di dalam hati.

Diriwayatkan dari sahabat Jabir dari Anas RA, dari رسول الله SAW sesungguhnya beliau bersabda, :

خمس يفطرن الصائم الكدْب والغيبة والنميمة واليمين الكادْب والنظربشهوة

Lima hal membatalkan orang yang berpuasa : Berdusta, mengumpat, menggunjing kejelekan orang lain, sumpah palsu dan melihat dengan syahwat.

2. Menjaga lisan dari ocehan dan dusta dan mengumpat dan menggunjing dan berbicara kotor menjijikkan dan pertengkaran dan riya’. Wajib baginya untuk selalu membiasakan diri diam dan menyibukkan diri dengan berdzikir kepada الله SWT dan membaca Al-Qur’an . inilah yang dinamakan puasa lisan. Sufyan Atsauri telah berkata, “mengumpat itu membatalkan puasa”. Diriwayatkan dari Mujahid, dua hal membatalkan puasa, mengumpat dan berdusta”. رسول الله SAW bersabda, “Sesungguhnya puasa adalah perisai. Apabila salah satu diantara kamu berpuasa hendaklah jangan berbuat cabul dan berbuat kebodohan. Dan apabila ada seseorang mengajak bertengkar atau mengutuknya maka hendaklah ia menjawab, “Sesungguhnya aku sedang berpuasa”.

Dan sesungguhnya telah datang penjelasan di dalam hadits bahwa dua orang wanita berpuasa pada zaman رسول الله SAW. Keduanya didera rasa lapar dan haus yang bersangatan pada sore hari hingga hampir membunuh keduanya. Maka datanglah utusan keduanya memintakan izin kepada رسول الله SAW untuk berbuka. Maka dikirimkan sebuah mangkok untuk kedua orang itu dan رسول الله SAW bersabda, ‘Katakan kepada mereka berdua,’Muntahkanlah di tempat ini apa yang telah kalian berdua makan’. Maka salah satu dari orang itu memuntahkan separuh darah dan separuh daging . dan orang yang satunya lagi juga seperti itu, sehingga mangkok itu penuh. Orang- orangpun merasa heran maka رسول الله SAW bersabda, “Inilah kedua orang yang berpuasa dengan apa yang dihalalkan الله baginya dan berbuka dengan apa yang diharamkan untuk mereka. Salah satu dari mereka duduk kepada yang lain untuk mengumpat orang lain. Maka inilah yang mereka makan dari daging mereka yang diumpat.

3. menahan pendengaran dari hal yang dimakruhkan karena apa yang haram dibicarakan maka haram pula untuk didengarkan. Oleh karena itu الله menyamakan dosa orang yang mendengarkan perkataan dusta dengan orang yang memakan barang haram. الله SWT berfirman yang artinya “Mereka mendengarkan perkataan dusta dan memakan makanan haram”. Oleh karena itu berdiam diri mendengarkan gunjingan dan umpatan adalah haram, karena الله berfirman, “Jikalau demikian maka engkau seperti mereka”. (sama-sama mengumpat orang lain). رسول الله SAW bersabda, “Orang yang mengumpat dan yang mendengarkan sama dalam perbuatan dosa”.

4. Menahan anggota badan yang lain seperti tangan, dan kaki dari perbuatan dosa dan perbuatan yang tidak baik, dan menahan perut dari memakan barang yang syubhat ketika berbuka puasa. Karena tidaklah yang dimaksudkan berpuasa itu tidak memakan yang halal pada siang hari akan tetapi berbuka dengan yang haram. Maka perumpamaannya seperti orang yang hendak membangun istana akan tetapi merubuhkan negara. Karena makanan yang halal itu berbahaya disebabkan banyaknya bukan karena macamnya. Dan puasa itu menyedikitkan makanan, tidak memperbanyaknya sehingga ia dapat menjadi obat. Dan yang haram itu merupakan racun bagi agama sedangkan yang halal itu sebagai obat yang bermanfaat apabila sedikit dan berbahaya apabila banyak. Dan maksud puasa adalah menyedikitkan obat. Telah bersabda رسول الله SAW, “Berapa banyak orang yang berpuasa, tidak ada bagi puasanya itu melainkan hanya membuat mereka lapar dan dahaga”. (diterangkan maksudnya adalah mereka yang berbuka dengan makanan yang haram). Ditafsirkan pula mereka yang menahan diri dari makanan yang halal akan tetapi berbuka dengan daging manusia oleh sebab menggunjing dan mengumpat orang lain. Ada yang mengatakan, yang dimaksud adalah merkeka yang tidak menjaga anggota badannya dari perbuatan dosa.

5. Hendaklah tidak memperbanyak makan meskipun dengan makanan yang halal ketika berbuka sehingga perut menjadi penuh. Tidak ada tempat yang paling dibenci oleh الله SWT selain perut yang penuh dengan makanan halal. Maka bagaimana dapat diperoleh faidah puasa yaitu untuk memerangi musuh الله SWT dan menghancurkan syahwat. Bahkan terkadang dipersiapkan berbagai macam makanan sehingga berlangsunglah kebiasaan untuk menyimpan berbagai makanan untuk menghadapi bulan ramadhan sehingga mereka memakan beraneka makanan yang tidak mereka makan pada bulan-bulan yang lain.

Telah diketahui bahwa maksud puasa adalah untuk menghancurkan hawa nafsu agar jiwa menjadi kuat dan taqwa kepada الله SWT. Apabila kita mengkosongkan perut pada siang hari sampai isya’ hingga syahwat menjadi lemah kemudian kita makan yang serba lezat sampai kenyang, maka akan berakibat syahwat bertambah kuat dan jiwa menjadi lemah. Ruh puasa dan rahasianya adalah untuk melemahkan kekuatan syahwat yang menjadi perantara (wasilah) bagi setan untuk kembali masuk ke tubuh manusia. Dan itu tidak dapat tercapai melainkan dengan menyedikitkan makan yaitu dengan memakan makanan yang biasa dimakan pada malam hari ketika tidak berpuasa. Jika tidak demikian, maka kurang bermanfaatlah puasa yang dijalankan.

Dan termasuk bagian dari etika orang berpuasa adalah tidak memperbanyak tidur di diang hari melainkan apabila benar-benar diserang rasa haus dan lapar, dan hendaklah ia merasakan melemahnya kekuatan syahwat di dalam dirinya sehingga hatinya ketika itu berubah menjadi bersih. Dan dalam kelemasan hendaklah tetap dilakukan amal baik dari shalat malam atau wirid, barang kali syaitan telah meninggalkan hatinya sehingga hatinya dapat melihat الملكوةالسماء . dan lailatul Qadr adalah ibarat dari malam terbukanya segala sesuatu pada alam malakut sebagaimana firman الله :

انا انزلناه فى ليلة القدر

Sesungguhnya Aku turunkan ia (Al-Qur’an) pada malam lailatul Qadar.

Dan barang siapa yang menempatkan makanan diantara hati dan dadanya maka cukuplah itu menjadi hijab (tirai penghalang). Kemudian orang yang mengkosongkan perutnya dari makanan, maka belumlah cukup untuk menyingkap tirai / hijab sebelum ia mengkosongkan himmah (hasrat) nya dari selain الله SWT. Dan kesemuanya itu di mulai dengan menyedikitkan makanan.

6. Hendaklah setelah berbuka puasa haitnya bergantung antara rasa takut dan harap (الخوف والرجاء ) karena tidak mengetahui apakah puasanya diterima sehingga menjadi golongan orang yang didekatkan kepada الله SWT ataukah puasanya ditolak sehingga dimasukkan pada golongan orang yang dijauhkan. Dan hendaklah demikian ini juga terjadi pada ibadah-ibadah yang lain. Diriwayatkan bahwa seseorang berkata kepada Ahnaf bin Qais, “Sesungguhnya engkau adalah orang yang telah berusia lanjut, dan puasa dapat membuatmu lemah.” Ia menjawab, “Sesungguhnya aku mempersiapkan ini untuk perjalanan yang sangat jauh. Sesungguhnya sabar melaksanakan ta’at kepada الله itu lebih ringan daripada sabar menanggung azab-Nya. Maka inilah makna bathin dari puasa.

Jika engkau katakan “barang siapa yang telah menahan syahwat perut dan kemaluan dan meninggalkan makna bathiniyah dari puasa (seperti tersebut di atas) maka para ahli fikih telah berkata bahwa puasanya tetap sah. Oleh karena itu bagai mana maksudnya ?”. ketahuilah bahwa para fuqahaa’ ahli dhahir menetapkan hukum atas syarat-syarat lahiriyah dengan pernyataan yang lebih lemah jika dibanding pernyataan ini (Syarat-syarat batiniyah) tidak terkecuali mengumpat, berbohong dan semisalnya. Karena para fuqaha ahli dhahir tidak sampai mengawasi apa yang berlaku pada kebanyakan orang-orang yang lalai, yang selalu menghadapkan dirinya kepada dunia. Adapun ulama akhirat maka sangat memperhatikan sah dan diterimanya amal. dan dengan diterimanya amal sampai kepada maksud serta tujuan. Dan mereka memahami bahwa maksud dan tujuan puasa adalah berakhlak dengan beberapa dari akhlak الله SWT Yang Maha Menanggung, dan berserupa dengan para malaikat yaitu menahan syahwat sesuai kemampuan, karena mereka para malaikat adalah terlepas dari syahwat. Adapun manusia maka derajatnya di atas derajat binatang karena kemampuannya dengan nuur akal untuk menekan syahwat. Dan derajat manusia di bawah derajat malaikat karena ia di pengaruhi oleh nafsu syahwat, dan keadaannya akan selalu mengalami cobaan berjuang melawannya. Apabila dia mengabdi kepada syahwat maka jatuhla ia pada derajat اسفل السافلين dan layak disejajarkan dengan binatang. Akan tetapi manakala syahwat dapat terkekang dan naik kepada derajat اعل عليين maka layak disejajarkan dengan para malaikat. Dan para malaikat adalah makhluk yang dekat dengan الله SWT sehingga orang mencontoh mereka dan berakhlak dengan akhlak mereka, akan menjadi dekat kepada الله seperti dekatnya mereka, karena yang menyerupai yang dekat itu juga dekat. Dan tidaklah yang dimaksudkan dekat dengan tempat akan tetapi yang dimaksud adalah sifatnya.

Jika demikian rahasia puasa menurut para pembimbing hati nurani dan pikiran, maka keuntungan dan hasil apa yang akan didapatkan dengan mengakhirkan makan sahur dan makan dua porsi ketika waktu berbuka dengan tetap mengabdi kepada hawa nafsu syahwat pada siang hari (sehingga syarat-syarat bathiniyah yang disebutkan di atas dianggap tidak perlu). Kalau seperti itu yang dimaksudkan, maka bagaimana pula dengan sabda رسول الله SAW, “Berapa banyak orang yang berpuasa, tidaklah ada yang mereka dapatkan selain rasa lapar dan haus”. Bagaimana pula tidurnya orang yang pandai dan berbukanya mereka dapat dibandingkan dengan puasanya orang bodoh dan keadaan jaga mereka. Sesungguhnya satu atom ibadah orang yang yakin dan taqwa adalah lebih utama dan lebih berat timbangannya jika dibanding berat satu gunung dari ibadah orang-orang yang tertipu. Karena itulah telah berkata para ulama, “Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi mereka sebenarnya berbuka. Dan berapa banyak orang yang berbuka akan tetapi mereka sebenarnya berpuasa. Yang dimaksudkan berbuka tetapi berpuasa adalah mereka yang dalam kesehariannya makan dan minum akan tetapi selalu menjaga anggota badannya dari perbuatan dosa. Sedangkan yang dimaksud berpuasa tetapi berbuka adalah mereka yang meninggalkan makan minum akan tetapi tidak menjaga anggota badannya dari perbuatan dosa. Barang siapa yang memahami makna puasa dan rahasia-rahasianya pasti mengetahui bahwa orang yang menahan diri dari makan dan minum serta berhubungan seksual akan menjadi batal bila anggota tubuhnya melakukan perbuatan dosa. Keadaan ini seperti orang yang membasuh anggota badannya ketika berwudhu masing-masing sebanyak tiga kali niscaya telah memenuhi hitungan yang diharapkan dalam berwudhu akan tetapi meninggalkan hal yang lebih penting dari itu yaitu membasuh bagian-bagian yang ditentukan dari wudhu, maka wudhu yang demikian tidaklah dapat diterima. Sebaliknya orang yang membasuh wudhu hanya sekali-sekali akan tetapi sempurna dalam membasuh anggota badan yang diharuskan maka shalatnya akan diterima insya Allah meskipun ia meninggalkan keutamaan. Dan perumpamaan orang yang mengumpulkan keduanya adalah seperti orang yang membasuh anggota badan masing-masing tiga kali dan menyempurnakan basuhannya sesuai dengan ketentuan yang diwajibkan maka yang demikian ini paling sempurna. Dan telah bersabda رسول الله SAW, “Sesungguhnya puasa itu amanah, maka jagalah dari kamu sekalian amanah itu”.

Dan ketika الله SWT berfirman

ان الله يأمركم ان تؤدواالأمانات الى اهلها

Sesungguhnya الله memerintahkan kamu semua untuk menyampaikan amanah kepada ahlinya. Maka beliau meletakkan tangan ke telinga dan mata beliau seraya bersabda, “Pendengaran adalah amanah, penglihatan adalah amanah”. Jikalau anggota badan bukan merupakan amanah dalam berpuasa niscaya رسول الله SAW tidak bersabda “فليقل انى صائم “. Maksudnya –sesungguhnya aku meyimpan ucapanku karena aku menjaganya, maka bagaimana aku mengeluarkannya untuk menjawabmu”.

Jadi, jelaslah bahwa ibadah itu ada aspek lahir dan aspek bathin. Ada kulit dan adapula isinya. Oleh karena itu sekarang pilihan di tangan anda, yaitu merasa cukup dengan kulit saja dan mengabaikan isi, atau berpihak kepada ارباب الالباب para ahli hikmah yang dapat membimbing hati dan jiwa manusia

Sumber : Kitab Ihya Ulumuddin bab Kitab tentang Puasa

Kembali ke www.manakib.wordpress.com

......................................................................................

Most of us who are fighting the battle of the bulge have experimented with some form of fasting, like an all fruit fast, a water fast or an sugar-free fast, you name it. But what many may find rather strange and intriguing is a whole nation of people; be it man or woman, old or young, rich or poor; going completely without food and drink from dawn to dusk for a whole month - Ramadan. What is the significance of Ramadan beyond shortened work hours? Is it not a very harsh practice? Is it merely a time when Muslims sleep and fast and hardly work all day; and eat, drink, enjoy and stay awake all night? What really is the spirit of Ramadan?

Fasting Prescribed in All Religions

In English “fasting” means to abstain from food or from certain kinds of food voluntarily, as an observance of a holy day or as a token of grief, sorrow, or repentance. [1] This practice can be found in most of the major religions of the world. For example, in Hinduism, fasting in Sanskrit is called upavaasa. Devout Hindus observe fasting on special occasions as a mark of respect to their personal gods or as a part of their penance. Most devout Indians fast regularly or on special occasions like festivals. On such days they do not eat at all, eat once or make do with fruits or a special diet of simple food. [2] For Jews, the day Yom Kippur (“Day of Atonement”) is the last of the Ten Days of Repentance observed on the 10th of Tishri. It is forbidden on that day to eat, drink, wash, wear leather, or have sexual relations. In addition, prohibitions on labor similar to those on the Sabbath are in force. [3] It should also be noted that Moses (Peace be upon him) is recorded in the Torah to have fasted. “And he was there with the Lord 40 days and 40 nights, he neither ate bread not drank water.” (Exodus 34:28) For Catholics among Christians, Lent is the major season of fasting, imitative of the forty-day fast of Jesus (Peace be upon him). In the fourth century it was observed as six weeks of fasting before Easter or before Holy Week. It was adjusted to forty days of actual fasting in most places in the seventh century. [4] Jesus (Peace be upon him) is recorded in the Gospels to have fasted like Moses. “And he fasted 40 days and 40 nights, and afterward he was hungry.” (Matthew 4:2 & Luke 4:2) It is in this context that God states in the Quran:

“O believers! Fasting has been prescribed for you as it was prescribed for those before you in order that you become more conscious of God.”

[Noble Quran 2:183]



Among the Best Righteous Deeds

Although in most religions, fasting is for expiation of sin or atonement for sin, in Islam it is primarily to bring one closer to God, as stated in the above-mentioned verse. Since, God-consciousness is the prerequisite for righteousness, great stress is placed on fasting in Islam. Thus, it is not surprising to find that when Prophet Muhammad (Peace be upon him) was asked “Which is the best deed?” He replied, “Fasting, for there is nothing equal to it.” [5]





There are as many levels of fasting as there are facets to being human. Proper fasting should encompass all dimensions of human existence for it to have the divinely intended effect. The following are some of the major levels of fasting:

The Ritual Level:

This level of fasting requires that the basic rules for fasting be fulfilled, which are avoiding food, drink and sexual intercourse between dawn and sunset for 29 or 30 days each year. On this level, one is basically following the letter of the laws regarding fasting without particular consideration for the spirit of fasting. It is the entrance level which must be fulfilled for the fast to be Islamically correct, but the other levels must be added for the fast to have any real impact on the fasting person. Fasting on this level alone will not benefit one spiritually, except from the perspective of submission to divine instructions, if one chooses to follow the ritual consciously and not merely according to tradition. Thus, by itself, the ritual level will not purify one of sin or atone for sin.

The Physical Level:

Fasting on the “physical” level causes the fasting person to experience the pangs of hunger and thirst – when the prophetic (Sunnah) way of fasting is observed. Prophet Muhammad (Peace be upon him) used to consume a very light meal before the dawn (suhur) and moderate meal (iftar) to break the fast at sunset, while scrupulously avoiding filling his stomach. He is reported to have said, “The worst container a human being can fill is his stomach. A few morsels of food to keep a person’s back straight are sufficient. However, if his desire overcomes him, then let him eat a third, drink a third and leave a third for breathing.” [6] The Prophet (Peace be upon him) used to break his fast with a few fresh or dried dates and a glass of water just before beginning the sunset prayer. [7] This level allows the fasting person to experience the pangs of hunger and thirst and thereby develops sympathy in him or her for those starving and dying of thirst in other parts of the world.

Medical Benefits: On the physical level, some chemicals in the brain that transmit messages and create feelings, called neurotransmitters, are affected by fasting. Fasting encourages the endorphin neurotransmitter system, related to the feeling of well being – and euphoria, to produce more endorphins and, in fact, makes us ‘feel’ better. This is similar to the effect of exercise (but without the physical work). It has also been noted by medical experts that fasting improves the physical health in numerous ways. For example, during the fast the body uses up stored cholesterol (fat) that is often deposited in the blood system, as well as in other fatty areas of the body. Thus, it helps to keep the body firm and minimizes the danger of heart attacks. The difference between the ritual level 1 and the physical level 2 is that a person dong only ritual fasting may eat large meals prior to beginning the fast and immediately upon ending the fast, and thus not feel any hunger or thirst throughout the whole month. However, like level one, if the fasting person does not incorporate the other levels of fasting, the fast will only be physically exhausting. The Prophet (Peace be upon him) said, “Perhaps a fasting person will gain nothing but hunger and thirst from fasting." [8]

The Libidinal Level:

The sexual instinct and drives (libido) are harnessed on this level of fasting. In these times where the media continually plays on sexual desires to promote and sell products, the ability to control these powerful desires is a plus. Fasting physically reduces sexual desires and the fact that the fasting person has to avoid anything which could stimulate him psychologically helps to further lower the libido. Prophet Muhammad (Peace be upon him) said, “O youths, whoever among you is able to marry let him do so, for it restrains the eyes and protects the private parts. He who is unable to marry should fast, because it is a shield.” [9] By restraining oneself from sexual acts which are permissible, the fasting person makes it easier for himself to restrain himself from forbidden sexual acts when he is not fasting.

The Emotional Level:

Fasting on this level involves controlling the many negative emotions which simmer in the human mind and soul. For example, among the most destructive emotions is anger. Fasting helps to bring this emotion under control. Prophet Muhammad, (Peace be upon him) said: “When one of you is fasting, he should abstain from indecent acts and unnecessary talk, and if someone begins an obscene conversation or tries to pick an argument, he should simply tell him, “I am fasting.” [10] Thus, on this level, whatever negative emotions challenge the fasting person must be avoided. One must abstain from lewd conversation and heated arguments. Even when one is in the right, it is better to let that right go and keep one’s emotional fast intact. Likewise, the negative emotion of jealousy is reduced, as every fasting person is reduced to the common denominator of abstinence; no one is externally superior to another in this regard.

The Psychological Level:

This level helps the fasting person psychologically to control evil thoughts and trains him or her, to some degree, how to overcome stinginess and greed. The Prophet (Peace be upon him) was reported to have said, “Allah has no need for the hunger and the thirst of the person who does not restrain himself from telling lies and acting on them even while observing the fast.” [11] In this age of immediate gratification, when the things of the world are used to fulfill human needs and desires almost as soon as they have them – the ability to delay gratification is an important skill. What is between immediate gratification and delayed gratification is patience. During the fast, the believers learn patience – and the benefits of it.

From a psychological perspective, it is good to be somewhat detached from the things of the world. There is nothing wrong with enjoying a good and full life – in fact, one can and should expect that. However, it is important that people are able to detach ourselves from material things so that they do not become the most important part of their lives. Fasting gives one the opportunity to overcome the many addictions which have become a major part of modern life. Food, for many people, provides comfort and joy - and the ability to separate oneself from it gives the fasting people the psychological benefit of knowing that they do have some degree of control over what they do and what they do not do.

The Spiritual Level:

In order to establish this, the highest and most important level of fasting, the level of God-consciousness, Prophet Muhammad (Peace be upon him) made the renewal of the intention for fasting a requirement before every day of fasting. He was reported to have said, “Whoever does not intend to fast before Fajr (the dawn) will have no fast.” [12] The daily renewal of intention helps to establish a spiritual foundation of sincerity essential for the spiritual cleansing effects of fasting to operate. Sincere fasting purifies and atones for sin, as the Prophet (Peace be upon him) said, “Whoever fasts Ramadan out of sincere faith and seeking his reward from God, his previous sins will be forgiven.” He was also reported to have said, “From one Ramadan to the next is atonement for the sins between them.” Sincere fasting brings one closer to Allah and earns a special reward. The Prophet (Peace be upon him informed that there is a gate in paradise called Rayyan reserved for those who fast and he also said, “When Ramadan comes, the gates of Paradise are open.” [13] Fasting is primarily between the person and God, as no one can be sure that any person is actually fasting. Because of this intimate aspect of fasting, Allah was quoted by the Prophet (Peace be upon him) as saying, “Every act of Adam’s descendants is for themselves, except fasting. It is meant for Me alone, and I alone will give the reward for it.” [14] When combined with the previous levels of fasting, this level transforms a person from within. It restores, revives and regenerates the fasting person’s spirituality and radically modifies his or her personality and character. These are the precious products of a heightened state of God-consciousness.





In much of the Muslim world today fasting has been reduced to a mere ritual, and the month of Ramadan has become a time of celebration and festivities instead of religious contemplation and abstinence. Ramadan nights are, for many, nights of partying and enjoyment which continue until the dawn in some countries. There, the night becomes the day and the day becomes the night. In most places, the light meal which is supposed to be taken prior the dawn becomes a major three-course meal. Consequently, few experience real hunger during the fast. And at the time of breaking the fast, another three-course meal is taken, followed by a sampling of all kinds of sweets imaginable. As a result, many Muslims complain about gaining weight during Ramadan and doctors regularly warn people about the medical consequences of overeating.





The word Ramadan comes from the noun Ramad, which refers to “the reflected heat of stones resulting from the intense heat of the sun.” When the Arabs changed the names of the months from their ancient names, they renamed them according to the seasons in which they happened to fall. The ninth month, which used to be called Natiq, fell during the summer, the time of extreme heat, which is why it was named Ramadan. [15]





Of course, the fact that Ramadan was in the summer has no relation to why this month was chosen by Allah as the month for fasting. Since Muslims follow the lunar calendar, the month of Ramadan will occur in all the seasons at least twice in each person’s lifetime. God clearly stated the reason for choosing this month in the Quran. He said: “Ramadan is the month in which the Quran was revealed as guidance and clarification to humankind, and a distinction between right and wrong. Thus, whosoever among you witnesses the month should fast it.” (2: 185) The significance of Ramadan lies in the fact that the revelation of the Quran began in that month. For this reason, Ramadan is often called the month of the Quran and Muslims try to spend much of their waking hours reading from the Holy Book throughout the month.





During the last ten days of Ramadan, the Prophet (Peace be upon him) used to seclude himself in the mosque, in order to increase the intensity of his worship and the benefits of the fast prior to the ending of the month. Devout Muslims try to emulate him by spending as many of the ten days as they can fasting secluded in the mosque.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

TERIMA KASIH KI BANGKEK .NOMOR RITUAL YANG KAMI TERIMA DARI AKI BENAR- BENAR 100%TEMBUS SEHINGGA KAMI SEKARANG BISA MELUNASI HUTANG-HUTANG KAMI SEKELUARGA.SEKALI LAGI TERIMA KASIH KEPADA KI BANGKEK YANG KINI TELAH MENGUBAH NASIB SAYA.YANG DULU SELALU DI KEJER-KEJAR HUTANG.SEKARANG KAMI BISA BERNAFAS LEGA.BERKAT BANTUAN KI BANGKEK.DENGAN ANGKA GHAIB HASIL RITUAL4D.0834_100%TEMBUS.BAGI ANDA YANG INGIN SEPERTI SAYA..SILAHKAN ANDA CALL / SMS DI NOMOR:(.085292222479).ATAU KUNJUNGI WAPSITE ASLI (KLIK) DI http://kibangkek.blogspot.com .. JIKA ANDA INGIN MENGUBAH NASIB-ANDA -ZHOBATH SOBAT>085292222479 ><<<

Unknown mengatakan...

TERIMA KASIH KI BANGKEK .NOMOR RITUAL YANG KAMI TERIMA DARI AKI BENAR- BENAR 100%TEMBUS SEHINGGA KAMI SEKARANG BISA MELUNASI HUTANG-HUTANG KAMI SEKELUARGA.SEKALI LAGI TERIMA KASIH KEPADA KI BANGKEK YANG KINI TELAH MENGUBAH NASIB SAYA.YANG DULU SELALU DI KEJER-KEJAR HUTANG.SEKARANG KAMI BISA BERNAFAS LEGA.BERKAT BANTUAN KI BANGKEK.DENGAN ANGKA GHAIB HASIL RITUAL4D.0834_100%TEMBUS.BAGI ANDA YANG INGIN SEPERTI SAYA..SILAHKAN ANDA CALL / SMS DI NOMOR:(.085292222479).ATAU KUNJUNGI WAPSITE ASLI (KLIK) DI http://kibangkek.blogspot.com .. JIKA ANDA INGIN MENGUBAH NASIB-ANDA -ZHOBATH SOBAT>085292222479 ><<<