Senin, 29 September 2008

google77509161fa54c449

google77509161fa54c449

Sabtu, 27 September 2008

The day I became a Muslim


The day I became a Muslim
At an Indian mosque on a blazing summer afternoon, a moment that I had only dreamed of came true.

- - - - - - - - - - - -
By Zachary Karabell

Dec. 11, 1999 It was hot. It was hot like no heat I had ever experienced. Hot to the point where nothing else registered. I later learned that it was 125 degrees that afternoon, and the humidity was high, as it often is in northern India just before the monsoon arrives in mid-summer. Words like sauna come to mind, but that doesn't do justice to the feeling. As my pores expanded, and drops of sweat evaporated before they had a chance to trickle down my body, I entered an altered state. At least, that's what I'd like to believe, because that afternoon, 12 years ago, I might have become a Muslim.

I'd fled the heat of Agra for the nearby village of Fatehpur Sikri. Agra is deservedly famous for the Taj Mahal and the Red Fort, in which the builder of that building, the Mughal emperor Shah Jahan, spent the last years of his life in prison staring at a sliver of the resplendent Taj, the mausoleum constructed for his beloved wife, Mumtaz. But only a few miles away sits a village that was once the marvel of the world.

Constructed over a period of five years by the emperor Akbar in the late 16th century, Fatehpur Sikri was meant to commemorate the miraculous pregnancy of Akbar's barren wife. In desperation, he had gone to visit the holy man Selim Chisti, who would in time become the founder of a Sufi holy order that bears his name. After being blessed by Chisti, Akbar and his empress were rewarded with a son. In thanks, Akbar built a glorious city of palaces and mosques, which flourished briefly and then fell into disuse after the emperor's death. His grandson Shah Jahan surpassed the wonder of Fatehpur Sikri with the edifices in Agra, and today, all that remains of the former glory of the village are a palace and a magnificent mosque called Jami Masjid. It is there, in the room of the imam, that a book sits with the name of the believers, and one of those names may be mine.

The mosque is designed in the "medresa" style, with a vast courtyard flanked by colonnades and symmetrical towering arches in which students would study the Koran during the years when the mosque also served as an Arabic university. In the middle of the courtyard is a shrine to Saint Chisti, made of cool white marble, and women come from the surrounding towns to tie little pieces of clothing to the grates of the shrine. They hope that some of the saint's posthumous holiness will give them an added edge in the fertility game.

Contrary to what some of the locals in Agra had told us, Fatehpur Sikri was no cooler. Granted, there was a dilapidated ice cream cart in front of the entrance to the mosque, and I watched in fascination as a withered old man churned a wooden handle and then proudly showed us a goop that he called ice cream. I was so thankful for the wisps of ice cold air that I bought a few servings and asked him to keep the lid off as long as possible.

After a futile attempt at sightseeing, we retreated to the shade of the colonnade and planted ourselves there. I had no intention of moving until the sun went down, and as the afternoon rays burned, I couldn't have moved even if we had wanted to. The stone in the central, exposed courtyard had become dangerously hot. Having removed our shoes at the entrance, I could no longer cross the courtyard to exit.

I must have dozed off, because the next thing I remember I was surrounded by a group of about a dozen young men seated in a circle. Bearded, studious, they had clearly taken to heart the Persian inscription on the side of the gate overlooking the town: "He that standeth up to pray and his heart is not his duty, does not draw nigh to God but remains far from Him. Your best possession is what you give in alms; your best trade is selling this world for the next. Said Jesus -- on whom be peace -- the world be a bridge, pass over it but build no houses on it. He who hopes for an hour may hope for an eternity. The world is but for an hour; spend it in devotion. The rest is unseen."

Though the men in the circle were speaking Urdu, I could make out the occasional word in Arabic, and noticed that they each carried a copy of the Koran. A slightly older man seemed to be leading the discussion, and given his demeanor and the white skull cap, I assumed that he was their imam. As their teacher cum prayer leader, he asked questions, elicited responses, posed challenges. I had spent a portion of my first years in college studying Arabic and Islam, and I found the scenario fascinating. Here I was, half a world away, in the middle of something I had only read about. It was Islam in practice, and I was hooked.

google77509161fa54c449.html.

Penjelasan keadaan para sahabat, tabi’in, para salaf dan orang-orang salih tentang bersangatannya takut

بسم الله الرحمن الرحيم

Penjelasan keadaan para sahabat, tabi’in, para salaf dan orang-orang salih tentang bersangatannya takut

Diriwayatkan babhwa Abu Bakar As-Shidiq berkata kepada burung, “Kiranya aku seperti engkau, wahai burung, dan aku tidak dijadikan manusia”.

Abu Dzar RA berkata, “Aku ingin jikalau aku ini hanyalah sebatang pohon kayu yang ditolong orang”. Begitu juga kata Thalhah.

Utsman berkata,”Aku ingin bahwa aku jika mati maka aku tidak dibangkitkan.

‘Aisyah RA berkata, “aku menginginkan bahwa aku ini dilupakan orang”.

Diriwayatkan bahwa Umar RA jatuh pingsan dari karena ketakutan apabila mendengar ayat-ayat Al-Qur’an. Maka ia dikunjungi hingga beberapa hari. Dan pada suatu hari ia mengambil sepotong jerami dan tanah lalu mengatakan, “kiranya aku adalah jerami ini. Kiranya tidaklah aku ini sesuatu yang disebutkan orang. Kiranya aku ini dilupakan orang. Kiranya aku ini tidak dilahirkan oleh ibuku”.

Adalah pada wajah Umar ada dua garis hitam dari sebab air mata. Dan beliau juga mengatakan, “barang siapa yang takut kepada الله niscaya ia tidak merasa sembuh kemarahan الله padanya. Siapa yang bertakwa kepada الله niscaya tidak akan diperbuatnya apa yang dikehendakinya. Dan kalaulah tidak karena hari kiyamat, niscaya الله lain dari apa yang kamu lihat.

Tatkala Umar membaca ayat :

اذاالشمس كورت واذاالنجوم انكدرت, واذاالجبال سيرت, واذاالعشار عطلت, واذاالوحوش حشرت, واذاالنفوس زووجت, واذاالموءودت سئلت, بأي ذنب قتلت واذاالصحف نشرت

Apabila matahari digulung, dan apabila bintang-bintang berjatuhan, dan apabila gunung-gunung dihancurkan, dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (tidak diperdulikan), dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan, dan apabila lautan dipanaskan, dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh), apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh, dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia) dibuka, (At-Takwiir 1-10)

-Maka Umar RA jatuh pingsan.

Pada suatu hari Umar melintasi rumah seseorang yang sedang salat dengan membaca surat At-Thur ayat 1 lalu beliau berhenti dan mendengar. Tatkala sampai pada firman-Nya :

ان عذاب ربك لواقع . ما له من دافع

“Sesungguhnya Adzab Tuhanmu pasti akan datang, tiada seorangpun dapat menolaknya”.

Maka beliau turun dari keledainya dan bersandar ke dinding dan berhenti beberapa saat. Kemudian beliau kembali ke rumahnya lalu sakit selama sebulan yang dikunjungi oleh orang banyak sedang mereka tidak tahu apa sakitnya.

Ali RA berkata, dan beliau baru saja memberi salam ketika (selesai) shalat subuh dan telah meninggi kegundahan hatinya dan beliau membolak-balikkan tangannya, “Aku telah melihat para sahabat Muhammad SAW maka pada hari ini aku tiada melihat sesuatupun yang menyerupai dengan mereka. Sesungguhnya para sahabat itu berpagi hari dengan rambut yang kusut bermuka kuning pucat dan berdebu. Diantara mata mereka itu seperti lutut kambing (dari bekas sujud). Mereka pada malam hari bersujud dan menegakkan shalat karena الله. Mereka membaca kitab الله. Mereka bergoncang badannya seperti bergoncangnya kayu pada hari banyak angin. Dan berhamburan matanya dengan air mata sehingga basah kainnya. Demi الله maka seakan-akan aku dan mereka menjadi kaum yang lalai dari berdzikir kepada الله تعالى.”

Kemudian beliau bangun berdiri, maka sesudah itu tiada terlihat lagi hingga beliau dibunuh oleh Ibnu Muljam.

Imran bin Husain berkata, “Aku ingin bahwa aku ini hanyalah debu yang dihembuskan angin pada hari di musim angin kencang.

Abu Ubaidah bin Al-jarrah berkata, “Aku ingin bahwa aku ini Kibasy (biri-biri) sehingga aku disembelih oleh keluargaku, mereka memakan dagingku dan merasakan kuahku”.

Adalah Ali Bin Husain Ra, apabila mengambil air wudhu maka wajahnya pucat. Keluarganya bertanya kepadanya, “Kebiasaan apakah ini ketika engkau mengambil wudhu ?”

Beliau menjawab, “Apakah kamu tahu di hadapanku yang aku hendak berdiri karenanya ?”

Musa bin Mas’ud berkata, “Adalah kami apabila kami duduk berhadapan dengan Ats-Tsauri, niscaya seakan-akan api telah mengelilingi kami karena kami melihat dari ketakutan dan kegundahannya”.

Mudlar Al_Qari pada suatu hari memabca :

هذاكتبنا ينطق عليكم بالحق , انا كنا نستنسخ ما كنتم تعملون

Inilah kitab catatan Kami yang mengatakan kepadamu menurut yang sebenarnya. Sesungguhnya Kami menyuruh menuliskan segala apa yang kamu kerjakan (Al-Jasiyah 29)

Maka Abdul Wahid bin Zaid menangis sehingga pingsan. Maka tatkala telah sembuh beliau berkata, “Demi keagungan Engkau, aku tiada mendurhakai Engkau oleh tenagaku untuk selama-lamanya. Maka tolonglah aku dengan taufik Engkau kepada menta’ati Engkau”.

Adalah Al-Musawwar bin Makhzamah tidak kuat untuk mendengar sesuatu dari Al-Qur’an karena sangat takutnya. Sesungguhnya dibacakan kepadanya satu huruf dan ayat lalu ia memekik dengan suatu pekikan keras sehingga ia tidak dapat berfikir untuk beberapa hari. Maka datanglah kepadanya seorang laki-laki dari Khats’am kemudian orang itu membacakan kepadanya :

يوم نخشر المتقين الى الرحمن وفدا . ونسوق المجرمين الى جهنم وردا

Di hari itu Kami kumpulkan orang-orang yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Kami halau orang-orang yang durhaka kepada neraka jahanam secara kasar.

Lalu AL musawwar berkata, “Aku termasuk orang-orang yang berbuat kesalahan dan tidaklah aku termasuk orang-orang tang bertaqwa. Ulangilah bacaan itu hai qari’.” Lalu diulanginya maka pingsanlah Al-Musawwar sehingga ia meninggal dunia (kembali ke akhirat).

Dibacakan kepada Yahya Al-Bakka’ (orang yang mudah menangis).

ولو ترى اذ وقفوا على ربهم

Dan kalau engkau lihat ketika mereka ditegakkan di hadapan Tuhan. (Al-Anaam 30).

Maka Yahya memekik dengan pekikan yang keras yang dia berhenti dari pekikan itu karena sakit selama empat bulan. Ia dikunjungi orang dari seluruh kota Basrah.

Malik bin Dinar berkata, “sewaktu aku bertawaf mengelilingi BaituLlah tiba-tiba aku dekat seorang anak perempuan yang kuat beribadah. Ia bergantung pada tirai Ka’bah dan berdo’a : “Hai Tuhanku, banyaklah nafsu keinginan yang telah hilang kelezatannya dan tinggal ikutannya. Hai Tuhanku, apakah tidak ada bagi Engkau pelajaran dan siksaan selain neraka ?”. Dia menangis dan senantiasalah ia demikian di tempatnya berdiri sehingga terbit fajar”.

Malik berkata, “Maka tatkala aku melihat yang demikian lalu aku letakkan tanganku ke atas kepalaku dan dengan menjerit aku berkata, “Ditiadakan Malik oleh Ibunya”.

Diriwayatkan bahwa Al-Fudhail dilihat orang pada hari arafah (9 Dzulhijjah) dan orang banyak itu berdoa sedangkan Al-Fudhail itu menangis seperti tangisan seorang wanita yang kehilangan anak yang menghadapi kebakaran sehingga apabila matahari hampir terbenam maka Al-Fudhail menggenggam janggutnya kemudian mengangkat kepalanya memandang ke langit dan berdoa “Demi kejahatanku kepada Engkau, dan kalau kiranya Engkau ampunkan”. Kemudian ia berbalik bersama manusia ramai.

Ditanyakan kepada Ibnu Abbas perihal orang-orang yang takut maka beliau menjawab, “Hati mereka luka disebabkan takut itu, dan mata mereka menangis. Mereka mengatakan ‘bagaimana kami bergembira sedangkan mati itu di belakang kami dan kubur itu di depan kami, hari kiyamat itu janjian bagi kami, di atas neraka jahanam itu jalanan kami, dan di hadapan الله Tuhan kami tempat pemberhentian kami’”.

Al-Hasan Al-Bashri melewati seorang pemuda dan pemuda itu tengah tenggelam dalam ketawanya. Dia duduk bersama orang banyak di dalam suatu majlis lalu Al-Hasan berkata kepadanya, “hai anak muda, adakah engkau pasti selamat melalui titian ?”

Anak muda itu menjawab, “Tidak”.

Al-hasan bertanya lagi, “Adakah engkau ketahui bahwa engkau berkesudahan ke surga atau ke neraka ?”

Anak muda itu menjawab, “Tidak”.

Al-Hasan bertanya pula, ‘Maka Ketawa apakah ini ?”

Maka anak muda itu tidak terlihat tertawa lagi sesudah itu.

Adalah Ahmad bin AbduRrabbih apabila ia duduk maka ia duduk dengan tidak tenang di atas kedua telapak kakinya, lalu ditanyakan kepadanya, “bilamana engkau dapat duduk dengan tenang ?”

Maka beliau menjawab, “Itu duduk orang yang merasa aman, dan aku tidak merasa aman karena aku berbuat maksiyat kepada الله تعالى.”

Umar bin Abdul Azis RA berkata, “Sesungguhnya الله menjadikan kelalaian pada hati hamba-Nya sebagai suatu rahmat supaya mereka tidak mati dikarenakan takut kepada الله تعالى”.

Malik bin Dinar berkata, “Sesungguhnya aku bercita-cita apabila aku mati, aku akan suruh mereka mengikatkanku dan merantaiku kemudian mereka melepaskan aku kepada Tuhanku, sebagaimana dilepaskan hamba yang lari kepada Tuannya”.

Hatim Al-Asham berkata, “Jangan engkau terperdaya oleh tempat yang baik, karena tidak ada tenpat yang terbaik selain surga. Dan Nabi Adam AS telah mendapatkan di dalam surga apa yang telah ia dapatkan (yaitu akhirnya diturunkan ke bumi). Dan engkau jangan terperdaya dengan banyak ibadah, sesungguhnya iblis sesudah lama ia beribadah maka ia dapatkan apa yang telah ia dapatkan (yaitu dijauhkan dari الله تعالى). Dan jangan engkau terperdaya oleh banyak ilmu, sesungguhnya Bal’am mengetahui dengan baik Al-Asmaaul Husna (nama-nama الله Yang Maha Agung), maka perhatikanlah apa yang telah ia dapatkan (mati dalam kekufuran). Dan janganlah engkau terperdaya dengan melihat orang-orang salih, maka tiada seorangpun yang lebih besar tingkatannya di sisi الله selain Nabi Muhammad SAW yang terpilih, dan tidak dapat diambil manfaat oleh keluarganya dan musuhnya dengan menemuinya (diantara keluarga seperti abu Jahal dan Abu Lahab, meskipun mereka bertemu dan melihat رسول الله SAW akan tetapi mereka tidak dapat mengambil manfaat / beriman kepada رسول الله SAW).

As-Sirri berkata, “Semenjak empat puluh tahun yang lampau aku melihat bercermin beberapa kali dalam sehari barang kali ada hal-hal yang negatif karena takut bahwa ada yang menghitamkan wajahku”.

Abu Hafs berkata, “Semenjak empat puluh tahun yang lampau i’tikadku pada diriku adalah bahwa الله memandang kepadaku dengan pandangan marah, dan amal perbuatanku menunjukkan kepada hal yang demiikian”.

Ibnu Mubarak suatu hari pergi kepada teman-temannya lalu mengatakan “Aku kemarin memberanikan diri kepada الله, aku meminta kepada-Nya akan surga”.

Ummu Muhammad bin Ka’ab Al-Qaradhi mengatakan kepada puteranya, “Hai anakku, Aku mengenal engkau sebagai anak kecil yang baik dan anak yang sudah besar yang baik. Dan seakan-akan engkau mendatangkan hal-hal yang memnbinasakan karena apa yang aku lihat engkau mengerjakannya pada malam dan siang engkau dengan bermacam ibadah”.

Anak itu menjawab, “Hai ibuku, aku tidak merasa aman bahwa الله تعالى melihat kepadaku dan aku di atas sebagian dosa-dosaku, maka Ia mengutuk akan aku dan berfirman , “Demi kemuliaan-Ku dan keagungan-Ku Aku tiada mengampunimu “.

Al-Fudhail berkata, “Sesungguhnya aku tidak iri kepada para Nabi yang menjadi Rasul SAW, kepada para malaikat yang mendekatkan diri kepada الله dan kepada hamba yang salih. Bukankah mereka itu menyaksikan huru-hara hari kiyamat ?. sesungguhnya aku iri hati kepada orang yang tidak diciptakan”.

Diriwayatkan bahwa seorang pemuda Anshar merasakan takut kepada neraka lalu ia menangis sehingga yang demikian itu menahannya di dalam rumah. Maka datanglah Nabi SAW lalu beliau masuk ke tempatnya dan berpeluk-pelukan dengan dia. Lalu anak muda itu jatuh tersungkur dalam keadaan meninggal dunia, maka Nabi SAW bersabda,”Uruslah mayat temanmu maka sesungguhnya takut dari neraka itu telah menghancurkan jantungnya”.

Diriwayatkkan dari Ibnu Abi Maisarah bahwa ia apabila pergi ke tempat tidurnya maka ia mengatakan, “Wahai kiranya ibuku tidak memperanakkanku”. Maka ibunya mengatakan kepadanya, “Hai Maisarah, sesungguhnya الله تعالى telah berbuat baik kepada engkau dengan ditunjikkannya engkau kepada agama Islam”.

Maisarah menjawab, “Benar, akan tetapi الله تعالى telah menerangkan kepada kita bahwa kita datang ke neraka dan tidak diterangkan-nya kepada kita bahwa kita keluar dari neraka”.

Dikatakan kepada farqad As-Sabakhi,”Terangkanlah kepada kami sesuatu yang paling menakjubkan yang sampai kepada engkau tentang kisah dari bani Israil (kaum yahudi).”

Farqad menjawab, “Telah sampai kepadaku berita bahwa telah masuk ke Baiutl Maqdis sebanyak 500 gadis perawan. Mereka berpakaian wol (pakaian dari tenunan bulu domba) lalu mereka berbincang-bincang tentang pahala dan siksaan الله. Maka mereka semua mati pada hari itu.

Adalah Atha’ As-Salimi termasuk sebagian orang-orang yang takut. Dia tidak meminta surga kepada الله selama-lamanya. Ia meminta kepada الله akan kemaafan-Nya. Dan ditanyakan kepadanya ketika sakit, “Apakah anda tidak mengingini sesuatu ?”

Ia menjawab, “ bahwa ketakutan kepada neraka jahanam tidak menyisakan tempat di dalam hatiku untuk nafsu keinginan”.

Dan adalah orang-orang mengatakan bahwa Atha’ As-Salimi tidak pernah mengangkat kepalanya menengadah ke langit dan tidak pernah pula tertawa selama empat puluh tahun. Dan pada suatu hari ia mengangkatkan kepalanya lalu ia terkejut dan jatuh. Maka pecahlah sesuatu di dalam perutnya, ia memegangi badanya pada sebagian malam karena takut kalau badannya itu berubah kepada keadaan yang lebih buruk. Apabila orang-orang terkena badai / angin kencang, atau kilat, atau mahalnya makanan, maka Atha’ mengatakan, “Ini semua karenaku yang menimpa kepada mereka. Jikalau matilah Atha’ niscaya manusia memperoleh kesenangan”.

Atha’ berkata, “Kami keluar bersama Athbah AL-Ghulam, dan dalam rombongan kami itu terdapat orang-orang tua dan muda. Mereka mengerjakan salat fajar (subuh) dengan wudhu Isya’. Telapak kaki mereka telah bengkak dikarenakan lamanya berdiri. Mata mereka telah masuk ke dalam kepalanya, kulit mereka telah melekat pada tulangnya, dan tinggalah urat-uratnya itu seolah laksana tali dawai.

Mereka di pagi hari seolah kulit mereka itu sepeprti kulit buah mentimun (karena pucat), dan seolah-olah mereka itu baru keluar dari kubur, dimana mereka menerangkan bahwa الله تعالى itu memuliakan orang-orang yang ta’at dan bagaimana الله menghinakan orang-orang yang berbuat maksiyat. Pada waktu mereka berjalan kaki ketika seorang dari mereka melewati suatu tempat, lalu jatuh tersungkur dalam keadaan pingsan. Maka duduklah para sahabatnya di kelilingnya dengan menangis pada hari yang sangat dingin. Dahi orang itu bercucuran keringat lalu mereka mendatangkan air dan menyapu pipi orang itu, maka orang itu sembuh dari pingsannya. Kemudian mereka bertanya tentang keadaannya, dan orang itu menjawab, “Bahwa aku teringat aku telah berbuat maksiyat kepada الله di tempat itu”.

Shalih AL-Marri mengatakan,”Aku bacakan ayat di bawah ini kepada seorang laki-laki dari orang-orang yang banyak beribadah :

يوم تقلب وجوههم فى النار يقولوان يليتنااطعناالله واطعنا الرسول

Pada hari dibalik-balik muka mereka di dalam neraka dan mereka berkata, “Wahai alangkah baik kiranya aku ta’at kepada الله dan ta’at kepada Rasul”.(Al-Ahzab 66)

Lalu orang itu pingsan dan setelah sembuh dari pingsannya lalu berkata “tambahkan lagi kepadaku hai Shalih !, sesungguhnya aku mendapati kesedihan”

Maka aku bacakan

كلما ارادواان يخرجوامنها من غم اعيدوافيها

Setiap mereka hendak keluar dari dalamnya karena kesedihan, lantas mereka dikembalikan lagi ke dalamnya (Al-Hajj 22).

Maka laki-laki ahli ibadah itu jatuh tersungkur dan meninggal dunia

Diriwayatkan bahwa Zararah bin Abi Aufa mengerjakan shalat subuh dengan banyak orang. Maka tatkala beliau membaca ayat :

فاذا نقرفي الناقور

Maka ketika terompet dibunyikan (Al-Mudatsir 8)

Lalu beliau jatuh tersungkur dalam keadaan pingsan. Maka kemudian beliau dibawa dalam keadaan meninggal dunia.

Yazid Ar-Raqqasyi masuk ke tempat Umar bin Abdul Azis, maka Umar bin Abdul Azis berkata, “Berilah pengajaran kepadaku hai Yazid”.

Yazid menjawab, “Waahi Amirul Mukminin, ketahuilah bahwa engkau tidaklah khalifah pertama yang mati”.

Maka Umar bin Abdul Azis menangis, kemudian berkata, “tambahkanlah pengajaran kepadaku”.

Yazid menjawab, “Hai Amirul Mukminin, Tiadalah diantara engkau dan Adam itu bapa, selain orang yang sudah meninggal”.

Maka Umar bin Abdul Azis menangis dan berkata, “Tambahkan lagi hai Yazid”.

Yazid menjawab, “Hai Amirul Mukminin, tiadalah antara engkau dan surga dan neraka itu tempat”.

Lalu Umar bin Abdul Azis jatuh tersungkur dalam keadaan pingsan.

Maimun bin Mahram berkata, “tatkala turun ayat ini :

وان جهنم لموعدهم اجمعين

Dan sesungguhnya neraka jahanam adalah tempat yang dijanjkan kepada mereka semua (Al-Hijr 43)

Maka Salman Al-Farisi memekik dan meletakkan tangannya di atas kepalanya. Ia lari keluar dari rumahnya selama tiga hari dimana orang-orang itdak sanggup mengejarnya.”

Dawud At-tha’i melihat seorang wanita pada kepala kuburan anaknya. Wanita itu mengatakan, “Hai anakku kiranya aku ketahui pipimu yang mana yang pertama-tama dimulai (dimakan oleh ulat)”.

Maka Dawud pingsan dan jatuh di tempatnya.

Dikatkaan bahwa Sufyan Ats-Tsauri sakit lalu dibawa oleh penunjuknya kepada seorang tabib dzimmi . Tabib itu mangatakan,” Inilah orang yang ketakutannya telah memutuskan jantungnya”. Kemudian tabib itu datang dan memegang urat uratnya dan mengatakan, “tidak aku tahu bahwa pada agama yang benar ada orang yang seperti Sufyan”.

Ahmad bin hambal RA berkata,”Aku bermohon kepada الله SWT kiranya Ia membuka kepadaku pintu ketakutan. Maka dibukakannya lalu aku takut kepada akalku. Maka aku berdoa, “Wahai Tuhanku, sekadar apa yang aku sanggupi”. Maka tenanglah hatiku”.

AbduLlah bin Amr bin AL-Ash berkata, “Menangislah. Maka jikalau engkau tidak dapat menangis, maka berbuat tangislah, demi Tuhan Yang diriku di tangan-Nya, jikalau tahu diantara kamu akan pengetahuan niscaya ia berteriak sehingga putuslah suaranya dan ia akan mengerjaakan shalat sehingga pecahlah tulang pinggangnya”.

Seakan-akan AbdiLlah bin Amr bin Ash mengisyaratkan pada makna sabda Nabi SAW, :

لو تعلمون ما أعلم لضحكتم قليلا ولبكيتم كثيرا

Jikalau kamu tahu apa yang aku tahu niscaya kamu akan sedikit tertawa dan banyak menangis.

Al-Anbari berkata, “Berkumpul para perawi hadits di pintu Fudhail bin Iyadh maka terlihat oleh mereka beberapa lubang dinding, Al-Fudhail itu menangis, dan janggutnya bergoyang-goyang lalu Al-Fudhail berkata, “Haruslah kamu dengan AL-Qur’an ! Haruslah kamu mengerjakan shalat ! Berhati-hatilah kamu. Tidaklah ini zaman hadits, sesungguhnya ini zaman menangis, merendahkan diri, ketetapan hati dan doa seperti doanya orang yang karam. Sesunguuhnya ini zaman : Peliharalah lisan engkau , sembunyikanlah tempat engkau , obatilah hati engkau, ambilah apa yang engkau pandang ma’ruf dan tinggalkanlah apa yang engkau pandang munkar.

Pada suatu hari orang melihat Al-Fudhail berjalan kaki lalu ditanyakan mau ke mana.

Al-Fudhail menjawab, “Aku tidak tahu”

Adalah Al-Fudhail itu berjalan kaki untuk melengahkan diri dari ketakutan.

Dzar bin Umar bertanya kepada bapanya Umar bin Dzar, “Bagaimana kiranya keadaan orang-orang yang ahli ilmu kalam yang berkata-kata maka tidak ada yang menangis akan tetapi apabila ayah yang berkata-kata niscaya aku mendengar tangisan dari setiyap sudut”.

Ayahnya menjawab,”Wahai anakku, tidaklah wanita yang meratap karena kematian anak itu seperti wanita yang meratap karena disewa (untuk meratap).

Diceritakan bahwa suatu kaum berdiri dengan seorang abid (ahli ibadah), dan abid itu sedang menangis. Maka orng banyak bertanya kepadanya,”Apakah yang membawa engkau kepada menangis ? kiranya engkau diberi rahmat oleh الله.”

Abid itu menjawab, “Luka yang diperoleh oleh orang-orang yang takut dalam hatinya”.

Mereka bertanya, “Apakah luka itu ?”

Abid itu menjawab, “terkejut oleh panggilan untuk datang kepada الله Azza wa Jalla”.

Adalah Ibrahim Al-Khawas itu menangis dan mengatakan dalam munajahnya, “Sesungguhnya aku telah tua dan telah melemah tubuhku untuk berkhidmah kepada Engkau, maka merdekakanlah aku !”

Shalih Al-Marri berkata, “Datang kepada kami Ibnu Samak lalu beliau mengatakan, “Perhatikanlah kepadaku akan sesuatu dari sebagian keajaiban hamba-hambamu”. Lalu aku pergi kepada seorang laki-laki pada sebahagian desa dengan Ibnu Sammak pada suatu rumah bambu kepunyaan laki-laki itu. Maka kami minta izin kepada lelaki itu. Tiba-tiba lelaki itu menganyam daun kurma maka aku bercakap dengannya, :

Pada waktu belenggu dan rantai telah dipasang di leher mereka, mereka dihela ke dalam air yang sangat panas kemudian mereka dibakar ke dalam api. (Al-Mukmin 71-72).

Maka lelaki itu memekik dengan keras dan jatuh tersungkur dalam keadaan pingsan. Lalu kami keluar dari tempat lelaki itu dan kami meninggalkan dia dalam keadaan yang demikian. Dan kami pergi kepada orang lain lalu kami masuk ke tempatnya, maka aku bacakan ayat tadi lalu orang itupun memekik dengan keras dan jatuh tersungkur dalam keadaan pingsan. Lalu kami pergi dan meminta izin kepada orang ketiga, maka orang ketiga ini mengatakan, “Masuklah kalau kamu tidak mengganggu kami dari tuhan kami”. Maka aku bacakan ayat :

ذالك لمن خاف مقامي وخاف وعيد

Tempat yang demikian itu adalah untuk orang-orang yang takut kepada kebesaran-Ku dan takut kepada janji-Ku (Ibrahim 14).

Lalu orang itu memekik dengan pekikan keras, maka nampaklah darah keluar dari kedua lubang hidungnya, dan ia mengusapnya hingga kering. Lalu kami tinggalkan dia dalam keadaan yang demikian dan kemudian keluar. Maka aku telah keliling pada enam orang. Setiap orang yang aku keluar padanya maka aku tinggalkan dalam keadaan pingsan. Kemudian aku datangi orang yang ke tujuh lalu kami miunta izin untuk masuk. Rupanya ia adalah seorang wanita, dan dari dalam rumah bambu itu ia berkata, ‘”Masuklah”. Lalu kami masuk maka tampaklah seorang tua (suaminya) yang sudah lanjut usianya, duduk pada tikar mushalanya. Lalu kami memberi salam kepadanya . ia tidak mengetahui dengan salam kami, lalu aku berkata dengan suara keras,”Ketahuilah bahwa di hari esok, makhluk itu mempunyai tempat kedudukan”.

Maka orang itu menjawab, ‘Di hadapan siapa ?”Hati-hatilah engkau!” kemudian orang tua itu di dalam keheranan, yang terbuka mulutnya, matanya memandang ke atas, ia memekik dengan suara yang lemah Oh..oh..” sehingga suara itu terputus.

Lalu isterinya berkata, “Keluarlah, kamu sesungguhnya tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun darinya.”

Sesudah itu aku bertanya tentang orang banyak itu, rupanya tiga orang sudah sembuh, dan tiga orang lagi sudah kembali kepada الله تعالى (meninggal dunia). Adapun orang tua itu tiga hari di dalam keadaannya yang demikian, ternganga dan keheranan. Tidak mengerjakan amal yang fardhu dan setelah tiga hari barulah kembali akal pikirannya.

Adalah Yazib bin Al-Aswad kelihatan temasuk golongan wali-wali (Aulia). Ia bersumpah tidak akan tertawa selamanya, tidak akan tidur dengan berbaring, dan tidak akan makan minyak samin untuk selama-lamanya. Maka tidaklah ia kelihatan tertawa dan tidur berbaring dan tiada memakan minyak samin sampai ia meinggal dunia. Kiranya الله mencurahkan rahmat kepadanya.

Al-Hajaj berkata kepada Sa’ad bin Jubair, “Sampai kepadaku berita bahwa engkau tiada pernah tertawa”.

Sa’ad bin Jubair menjawab, “Bagaimana aku tertawa sedangkan neraka jahanam itu menyala, rantai-rantai itu dipasang dan neraka zabaniyah itu telah disiapkan”.

Seorang laki-laki bertanya kepada Hasan AL-Bashri RA, Hai Abu Sa’id, bagaimana seharusnya aku berpagi hari ?”

Hasan AL-Bashri RA menjawab, “Dengan penuh kebajikan”.

Lelaki itu bertanya lagi, “Bagaimana halnya dengan keadaanmu ?”

Hasan AL-Bashri RA tersenyum dan menjawab, “Engkau bertanya tentang keadaanku, lalu apa persangkaanmu dengan manusia yang menumpang kapal di tengah lautan lalu pecahlah kapal mereka lalu setiap insan dari mereka bergantung dengan sepotong kayu. Bagaimana keadaan setiap insan itu ?”

Lelaki itu menjawab, “Dalam keadaan yang sangat sulit”.

Maka Hasan AL-Bashri RA berkata, “Hal keadaanku lebih sulit dari mereka”.

Bekas budak wanita Umar bin Abdul Azis masuk ketempat Umar bin Abdul Azis. Ia memberi salam kepada Umar bin Abdul Azis kemudian ia pergi ke mushala di dalam rumah Umar bin Abdul Azis. Lalu wanita itu mengerjakan shalat dua rekaat dan kedua matanya keras hendak tidur. Lalu ia berbaring dan tidur. Maka dalam tidurnya ia menangis kemudian ia terbangun lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya demi الله aku bermimpi suatu keajaiban”.

Umar bin Abdul Azis berkata, “Keajaiban apakah itu ?”

Wanita itu menjawab, “Aku bermimpi neraka, dan neraka itu berkobar-kobar apinya kepada penghuninya. Kemudian dibawalah titian الصراط المستقيم lalu penghuni tadi diletakkan di atas titian itu”.

Umar bin Abdul Azis berkata, “Teruskan”.

Wanita itu menyambung, “Maka dibawalah Abdul Malik bin Marwan lalu ia dipikulkan di atas penghuni itu. Maka tiadalah berlalu selain waktu yang sedikit saja sehingga titian itu terbalik, maka Abdul Malik bin Marwan jatuh ke dalam neraka jahanam”.

Umar bin Abdul Azis berkata, “Teruskan”.

Wanita itu menyambung, “Maka dibawalah Al-Walid bin Abdul Malik lalu ia dipikulkan di atas penghuni itu dan tiadalah berlalu selain waktu yang sedikit saja sehingga titian itu terbalik. Maka Al-Walid bin Abdul malik jatuh ke dalam neraka jahanam”.

Umar bin Abdul Azis berkata, “teruskan”.

Wanita itu menyambung, “Kemudian dibawalah Sulaiman bin Abdul malik, maka tiadalah berlalu selain waktu sebentar saja sehingga titian itu terbalik dan Sulaiman bin Abdul Malik jatuh seperti yang demikian.”

Umar bin Abdul Azis berkata, “Teruskan”.

Wanita itu meneruskan ceritanya, “Kemudian dibawalah engkau demi الله wahai Amirul Mukminin”.

Lalu Umar bin Abdul Azis RA memekik dengan pekikan yang keras yang membuatnya jatuh pingsan. Lalu wanita itu berdiri mendekati Umar bin Abdul Azis dengan membisikkan ke telinganya, “Hai Amirul Mukminin, aku melihat engkau demi الله selamat. Aku melihat engkau selamat dari bahaya itu”.

Kata yang meriwayatkan kisah ini, “Wanita itu terus memanggil dan Umar bin Abdul Azis terus memekik dan ia memeriksa dengan kedua kakinya”.

Diceritakan bahwa Uwais Al Qarni RA datang kepada Al-Qash. Maka dia menangis sebab mendengarkan perkataan Al-Qash. Apabila Al-Qash menyebutkan neraka, maka Uwais memekik. kemudian Uwais bangun berjalan lalu diikuti manusia banyak mereka mengatakan “gila-gila”.

Muadz bin Jabal RA mengatakan, “bahwa orang mukmin itu tidak tenang ketakutannya sebelum meninggalkan titian neraka jahanam di belakangnya”.

Adalah Thawus bin Khaisan Al-Yamani membentangkan tikar tidur untuk Muadz bin Jabal. Maka Muadz pun berbaring dan bergoncang badannya sebagaimana bergoncangnya biji-bijian dalam kuali penggorengan. Kemudian ia melompat berdiri lalu ia melipatkan badannya dan mengahdap kiblat dengan ruku’ dan sujud sampai datang waktu shalat subuh dan ia mengatakan, “Mengingati neraka jahanam itu menerbangkan tidur orang-orang yang takut”.

Hasan AL Bashri RA berkata, “seorang laki-laki keluar dari neraka sesudah seribu tahun. Wahai kiranya akulah lelaki itu”.

Beliau megatakan yang demikian karena takutnya berkekalan di dalam neraka dan suu-ul khatimah. Diriwayatkan bahwa beliau tiada pernah tertawa selama empat puluh tahun, dan perawi mengatakan, “Apabila aku melihat Al-Hasan Al-Bashri duduk maka seakan-akan ia itu seorang tawanan yang didatangkan untuk dipenggal lehernya. Apabila beliau berkata-kata, seakan-akan beliau melihat akhirat lalu beliau menceritakan hal keadaan yang dilihatnya. Apabila beliau diam maka seakan-akan api neraka menyala-nyala di hadapannya”.

Beliau dicela orang lantaran bersangatan kegundahannya dan ketakutannya maka beliau mengatakan, “Aku tidak merasa aman bahwa الله melihatku atas sebagian apa yang tidak disenangi-Nya, maka Ia mengutukku dan berfirman ‘Pergilah dan tiada Aku ampunkan engkau ‘ maka aku telah berbuat pada yang bukan tempatnya”.

Diriwayatkan dari Ibnu Samak yang mengatakan, “Aku pada suatu hari memberi pengajaran pada suatu majlis maka seorang pemuda dari sebuah rombongan bangun berdiri dan mengatakan, ‘hai Abul Abas, engkau pada hari ini telah memberi pengajaran dengan perkataan yang tidak kami hiraukan bahwa tiada kami mendengar dari yang lainnya”.

Lalu aku bertanya, “Perkataan apakah itu ? kiranya engkau dicurahkan rahmat oleh الله

Pemuda itu menjawab, “Perkatan engkau ‘Hati orang-orang yang takut telah dipotong oleh lamanya orang-orang yang kekal, adakalanya dalam surga atau dalam neraka”.

Kemudian pemuda itu menghilang dariku dan aku mencarinya di majlis yang lain namun aku tidak melihatnya. Lalu aku tanyakan, maka diberitahukanlah kepadaku bahwa pemuda itu sakit. Maka akupun datang mengunjunginya dan aku berkata, “Hai saudaraku, apa gerangan yang aku lihat pada diri engkau ?”.

Pemuda itu menjawab, “Hai Abul Abbas, itu dari perkataan engkau ‘hati orang-orang yang takut telah diputuskan oleh lamanya orang-orang yang kekal, adakalanya dalam surga, adakalanya dalam neraka’”.

Ibnu Samak meneruskan ceritanya,”Kemudian pemuda itu meninggal dunia, kiranya الله melimpahkan rahmat kepadanya. Kemudian aku bermimpi melihatnya di dalam tidur maka aku bertanya, “Hai saudaraku ! apa yang telah diperbuat الله kepadamu ?”

Pemuda itu menjawab, الله telah mengampunkan dosaku, merahmatiku dan memasukkanku ke dalam surga”.

Aku bertanya, “Dengan apa?”

Ia menjawab, “Dengan perkataan engkau itu”.

Maka inilah tempat takutnya para nabi, wali, ulama dan orang-orang salih. Dan kita lebih layak dengan lebih takut jika dibandingkan mereka. Akan tetapi takut itu tidak disebabkan banyak dosa, tetapi dengan kebersihan hati dan kesempurnaan ma’rifah. Jikalau tidak, maka tidaklah keamanan kita karena sedikitnya dosa dan banyaknya keta’atan kita, akan tetapi karena dipimpinya kita oleh hawa nafsu kita dan dikerasinya kita oleh kedurhakaan kita dan tercegah kita dari memperhatikan hal ihwal kita oleh sebab kelalaian dan kesesatan hati kita. Maka tidaklah semakin mendekatnya keberangkatan ke akhirat itu dapat membangunkan kita, dan tidaklah banyaknya dosa itu menggerakkan kita. Tidaklah penyaksian hal keadaan orang-orang takut itu dapat menakutkan kita, dan tidaklah bahaya al-khatimah itu mengejutkan kita.

Maka kita bermohon kepada الله تعالى kiranya ia memperdapatkan kembali dengan kurnia dan kemurahan-Nya akan hal ihwal kita, lalu diperbaiki-Nya kita, jikalau adalah penggerakan lisan dengan semata-mata meminta tanpa persediaan itu bermanfaat bagi kita.

Dan diantara keajaiban-keajaiban adalah bahwa kita apabila berkehendak kepada harta benda dunia niscaya kita bercocok tanam dan menanam, berniaga, menyeberangi lautan dan padang pasir dan kita mau menempuh bahaya. Dan kalau kita bermaksud mencari pangkat ilmu pengetahuan niscaya kita mempelajari ilmu fikih dan kita bersusah payah menghafal dan mengulang-ulanginya. Dan kita tidak pula tidur malam, kita bersungguh-sungguh dalam mencari rizki kita. Dan kita tidak percaya kepada jaminan الله dan kita tidak duduk di rumah kita dan berdoa, “Wahai الله Tuhanku, berilah kami rizki”. Kemudian ketika mata kita menatap Raja Yang Kekal Yang Berketetapan niscaya kita cukupkan dengan berdoa melalui lidah kita, “Wahai Tuhan kami, ampunilah kami dan kasihanilah kami, yang kepada-Nya harapan kami, dan dengan Dia kemegahan kami, yang memanggil kami dengan berfirman :

وان ليس للانسان الاما سعى

Dan bahwa manusia itu hanya memperoleh apa yang diusahakannya. (An-Najm 39).

Dan firman-Nya:

ولا يغرنكم بالله الغرور

Dan janganlah kepercayaanmu kepada الله tertipu oleh yang amat pandai menipu / setan (Fathir 5).

Dan firman-Nya :

يأيهاالانسان ما غرك بربك الكريم

Wahai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu sekalian terhadap Tuhan engkau Yang Maha Pemurah ?” (Al-Infithar 6).

Kemudian setiap yang demikian itu tidak memberitahukan kepada kita dan tidak mengeluarkan kita dari lembah ke-terperdayaa-an kita dan angan-angan kita. Maka tidaklah semua ini melainkan bencana yang menghuru-harakan. Jikalau tidaklah الله mengurniakan kita dengan taubat nasuha yang akan memperdapatkan kita dengan sebab taubat itu dan menambalkan kekurangan kita. Kiranya Ia mempertaubatkan kita. Bahkan kita bermohon kepada-Nya bahwa Ia menunjukkan rahasia hati kita kepada jalan taubat, dan Ia tidak menjadikan gerakan lidah kita dengan permintaan taubat itu penghabisan keberuntungan kita. Lalu kita akan termasuk orang yang mengatakan akan tetapi tidak mengerjakan, mendengar dan tidak menerima. Apabila kita mendengar pengajaran niscaya kita menangis. Dan apabila datang waktu amal dengan apa yang kita dengar, lalu kita mengingkari.

Maka tiada tanda kehinaan yang lebih besar dari ini semua. Mari kita bermohon kepada الله تعالى kiranya Ia mencurahkan nikmat kepada kita dengan taufik dan petunjuk , dengan nikmat dan kurnia-Nya.

Marilah kita singkatkan cerita hal-ihwal orang-orang yang takut sekedar apayang telah kita kemukakan. Sesungguhnya sedikit dari ini berbetulan dengan hati yang menerima, Maka memadailah dan yang banyak darinya. Jikalau dicurahkan kepada hati yang lalai maka tidaklah berfaidah.

Sungguh benarlah cerita tentang seorang pendeta yang disampaikan oleh Isa bin Malik Al_khaulani. Dan pendeta itu termasuk orang yang ahli beribadah yang pilihan. Bahwa Isa bin Malik Al_khaulani melihatnya berdiri di pintu Baitul Maqdis seperti keadaan orang yang sedang bergundah hati dari sebab bersangatan bimbangnya. Dan hampir tidak kering air matanya dari banyaknya menangis. Isa bin Malik Al_khaulani berkata, “Tatkala aku melihatnya maka mendahsyatkan aku memandangnya. Lalu aku berkata, “Hai pendeta berikanlah aku wasiyat (nasihat) yang akan aku hafal dari engkau.”

Pendeta itu menjawab, “Hai saudaraku, dengn apa aku nasihatkan engkau ? Jikalau sangguplah engkau setingkat dengan seorang laki-laki yang dihalau oleh binatang buas dan singa. Orang itu takut dan berhati-hati. Ia takut lengah sehingga ia diterkam oleh binatang buas itu. Atau lupa lalu ia ditangkap dengan mulut oleh singa. Dia yang berhati kecut, yang takut, dia pada malamnya dalam ketakutan walaupun orang-orang yang terperdaya merasa aman. Dan pada siangnya dalam kegundahan walaupun orang-orang yang tidak ada kerja merasa neruntung”.

Kemudian pendeta itu pergi dan ditinggalkanya aku, lalu aku mengatakan,”Jikalau engkau tambahkan sedikit lagi kepadaku, niscaya mudah-mudahan bermanfaat bagiku”.

Pendeta itu menjawab, “orang yang haus, akan memadahi baginya air yang sedikit”.

Sungguh benar pendeta itu, bahwa hati yang bersih itu digerakkan oleh sedikitnya ketakutan sedang hati yang beku maka setiap pelajaran tidak akan disetujuinya.

Apa yang disebutkannya dari kira-kira bahwa ia dihalau oleh binatang buas dan singa, maka tidak seyogyanya disangka bahwa itu kira-kira akan tetapi itu sungguh-sungguh. Maka jika engkau menyaksikan dengan nur mata hati kepada bathin engkau niscaya engkau melihat penuh dengan berbagai macam binatang buas dan bermacam-macam singa seperti marah, nafsu syahwat, busuk hati, dengki, sombong, mengherani diri (ujub), ria dan lain-lainnya. Dan sifat-sifat ini selalu menerkam engkau dan menelan engkau dengan mulutnya jika engkau lalai sekejab mata saja. Hanya saja, mata engkau terhijab dari melihatnya. Maka apabila tersingkap tuutpnya dan engkau telah diletakkan dalam kubur, niscaya engkau akan melihatnya. Dan telah tergambar bagi engkau akan rupa dan bentuknya yang bersesuaian dengan maknanya. Maka ketika itu engkau melihat dengan mata engkau akan kalajengking dan ular. Dan ia meletakkan pandangan kepada engkau di dalam kubur engkau. Dan itu sesunggunya adalah sifat-sifat engkau yang ada sekarang yang telah terbuka kepada engkau bentuk-bentuknya. Jikalau engkau bermaksud membunuhnya dan memaksanya dan engkau sanggup atas yang demikian sebelum mati, maka kerjakanlah ! jikalau tidak, maka seidakanlah diri engkau kepada sengatan dan tangkapan mulutnya bagi jantung hati engkau ! lebih-lebih lagi zahiriyah engkau !.........

Wassalam........

.

.

.Kembali ke www.manakib.wordpress.com

.

.Boleh mengcopy dengan mencantumkan www.manakib.wordpress.com


Dec. 18, 2006 | I'm not the same woman I was at 27 when I told my mother, "Ma, I can't eat the pasta fagioli." (She'd made it with bacon.) I'm not the same woman who lied when she said, "I didn't become Muslim because of Ahmed."

My mother believes that for women, most problems and solutions begin and end with the man in her life. But back then there was no way this feminist would admit to anyone -- including herself and especially not her mother -- that she had converted because of a man.

But today, at 42, and secure in my faith, I can admit that if it weren't for Ahmed -- though he is now my ex-husband -- the word "Islam" would probably still conjure up images of black-cloaked women and melodramatic Sally Field movies in my head. After all, I am my mother's daughter.

The day I left my Italian-Bronx neighborhood to go to college, I knew my communion and confession days were over. I was never going to let Jesus stick to the roof of my mouth again. There were too many contradictions for me in Catholicism. Why was my never-miss-Sunday-mass father excommunicated after he and my mother divorced -- especially when she was the one having the affair? How could the pope have an Olympic-size swimming pool while millions of his people were starving? And how could I tolerate the church's position on abortion and women's rights?

By the time I transferred from Barnard to UCLA, I was a lapsed Catholic who wanted nothing to do with organized religion. But I needed to believe in something.

During my years at UCLA I spent more hours making fliers, organizing demonstrations and making phone calls -- and once or twice bail -- than I spent studying. I defended clinics under attack by anti-abortionists; I worked for funding for the homeless and against nuclear testing; I traveled to Nicaragua to build houses and to Arizona to herd sheep for Navajos fighting to keep their land.

I tried to change the world one cause at a time.

In the summer of 1988, I interned at the Nation magazine's Washington office. While researching a story about Mubarak Awad, a Palestinian-American psychologist and founder of the Palestinian Center for Non-Violence, the president of the American-Arab Anti-Discrimination Committee invited me to go on a student delegation to the Occupied Territories. Two weeks after returning to UCLA from the West Bank and Gaza I gave a talk to 50 students about my experience. I explained how the intifada had propelled women into major leadership roles. How women-run factories and businesses were building an infrastructure for a future state.

At the back of the room stood a man, 6 feet tall with bright red hair. He held his hand to his chin, and his focus on me helped me focus. When I finished, he applauded louder than anyone else. I was relieved the talk had been a success -- at least no one from the audience had shouted out, "Arab-loving whore!

The man waited until I gathered my notes and walked off the stage before approaching me. "Brilliant speech," he said. I thanked him, trying not to blush. Extending his hand, he said, "My name is Ahmed." But I already knew who he was. He was president of the Muslim Students Association and, like me, he wrote a column for the school paper, where we were both slotted "on the left." I was a fan.

This was a guy who knocked on every door in Islam Vista, in Santa Barbara, Calif., to campaign for Jesse Jackson. But that day, when he smiled a win-me-over smile, I thought the same thing I'd wondered whenever I read his column, "How could a smart, socially conscientious guy be a Muslim? Be a part of any organized religion?" He was a feminist. A feminist Muslim -- wasn't that an oxymoron?

As Ahmed and I spent the next several years deepening our friendship -- and eventually marrying -- I returned again and again to those questions. He mostly stood out of my way. It didn't matter to him if I was Catholic or Muslim or Jewish or Marxist (though he thought Marx grossly underestimated the seduction of capitalism). Ahmed wanted me to come to my own conclusions about Islam. After all, it was what he'd had to do. He'd been born into a Muslim family, but after they immigrated from Cairo to Los Angeles, Islam played little visible role in their lives. It wasn't until Ahmed read the Quran for the first time in college that he helped his parents reconnect with their faith.

I studied Islam in order to debate Ahmed and his belief system, but the more I learned, the more I found how greatly I had underestimated my own ignorance. Mine wasn't a hit-you-over-the-head epiphany, but rather a slow and steady stream of aha's.

The feminist in me aha'd when she realized that in the Quran God is neither male nor female. The scholar in me aha'd at the various interpretations and schools of thought within Islam, most of which depict the religion as a social and constantly changing belief system, rather than the fixed, dogmatic one the government of Saudi Arabia would have the world believe.

The Christian still left in me aha'd when she read in the Quran how those who do good deeds are in God's grace. And the scared Bronx girl in me aha'd at the Quran's refrain that God is "merciful and compassionate" -- until, eventually, the scared Bronx girl was no more.